(AMALAN) RAHASIA MALAM JUM'AT

(AMALAN) RAHASIA MALAM JUM'AT - Kebiasaan memuliakan malam Jum’at salah satu ciri muslim dan muslimah, karena di dalam malam Jum’at itu keberkahan Allah SWT akan lebih tinggi dibandingkan malam-malam lain. Malam Jum’at dimana keesokan harinya diadakan sholat Jum’at adalah malam istimewa bagi seorang muslim maupun muslimah, orang mukmin maupun mukminat, jadi benar-benar malam yang istimewa, bukan sekedar malam biasa. Tapi masihkah kebiasaan warga muslim memuliakannya? Atau justru hanyut terbawa arus jaman, di mana orang tak peduli lagi dengan malam Jum’at yang mulia itu, karena bisa anda saksikan sendiri, betapa banyak kegiatan hura-hura, pesta pora atau berbagai acara yang hingar binger di lakukan di malam Jum’at.

(AMALAN) RAHASIA MALAM JUM'AT
Kalau yang menyelenggarakan non muslim, rasanya masih bisa dimaklumi, karena mereka tidak memuliakan dan tidak mensucikan malam Jum’at dan bulan ramdhan, tapi kalau penyelenggaranya orang muslim, yang seharusnya malam itu buat terawih, membaca Al Qur’an, sholat malam dan kegiatan ibadah lainnya, apa yang ada bisa katakana? Paling-paling hanya bisa mengelus dada dan banyak-banyak membaca istigfar.

Malam Jum’at
Begitu akan terasa nikmatnya
Setelah kau menyerah total kepadaNya
Dengan tahajud, witir, dzikir, membaca al Qur’an dan sebagainya

Jum’at putih
Aku namakan malam mulia ini
Karena di dalamnya kua bisa temukan kesucian malam Jum’at
Dengan banyak-banyak berdialog padaNya

Jum’at putih
Di dalamnya kau bisa menyerahkan semua titipanNya
PadaNya yang telah memberikan titipan padamu
Ya semua itu telah kau kembalikan padaNya
Pada malam Jum’at putih
Dan jiwamu tiba-tiba ringan seakan-akana tanpa beban
Totalitas penyerahan padaNya
Membuat jiwamu tenang, damai dan lega
Alhamdulillah

Jum’at putih
Jum’at suci
Jum’at kebahagiaan
Jum’at di atas Jum’at
Allahu Akbar

Mungkin ada yang bilang, “ah setiap hari kan sama saja, tak ada keistimewaan pada malam Jum’at, semua biasa saja”. Jelas yang bilang begini ini, tak memuliakan malam Jum’at, jadi baginya malam Jum’at mau pestapora, mau dansa dansi, mau apa saja boleh. Ngerikan! Kalau pernyataan itu keluar dari sahabat-sahabat yang muslim atau musliman, mari simak berikut ini :

Sahabat …. setiap napas yang diberikan-Nya adalah amanat-Nya yang nantinya dimintai pertanggungjawaban di akherat sana. Sahabat …. Setiap detik napas yang berhembus adalah bonus dari-Nya yang tidak semua orang mendapatkannya, tidak semua memilikinya, yang tidak semua orang menyadarinya, yang tidak semua menghargainya.

Sahabat ….barulah napas dihargai,barulah kesehatan diperhatikan, barulah kematian di ingat, barulah dosa-dosa terbayang, barulah sadar bahwa napas adalah karunianya yang begitu besar, tiap detik , tiap saat, tiap waktu bonus dari-Nya datang tanpa diminta.

Sahabat ….mari saling berbagi, mari saling mengingatkan, mari saling memberi nasehat, mari saling bertegur sapa, selama napas masih berhembus selama hidup masih diberikan, selama maut masih menunggu, selama kuburan masih jauh, selama hayat masih dikandung badan, selama kesehatan masih bersama, selama ingatan masih tajam,selama gerak masih lancer.

Sahabat ….

Apa yang kau cari? Akan kau tinggalkan
Apa yang kau dapat? Tak dibawa mati
Apa yang bersamamu? Akan berpisah
Apa yang kau simpan? Akan hilang
Apa yang dambakan? Tak abadi
Apa yang kau cintai? Bukan milikmu
Apa yang kau benci? Bukan kau yang menciptakan
Apa yang kau hina? Bukan kau yang menjadikan
Apa yang kau gosipkan? Pahalamu kan hilang
Apa yang kau benci? Tak di bawa mati

Sahabat ….
Setiap langkah kita sedang menuju ke kuburan
Usia kita bertambah maut makin dekat
Rumah terakhir kita kuburan
Tanah air kita yang hakiki panjangnya hanya satu kali dua meter saja.

Imam Al-Syafi'i rahimahullah dalam Al-Umm menyatakan bahwa membaca surat al-Kahfi bisa dilakukan pada malam Jum'at dan siangnya berdasarkan riwayat tentangnya. (Al-Umm, Imam al-Syafi'i: 1/237).

Dari Abu Sa'id al-Khudri radliyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

"Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul 'atiq." (Sunan Ad-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan al-Nasai dan Al-Hakim Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 736)

Ketegasan JK di Depan 700 Pendeta

JK.
#mbn-repost salamonline.com, Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Ustadz Fahmi Salim mengisahkan cerita dari Jusuf Kalla (JK) ketika memimpin rapat Dewan Masjid Indonesia (DMI) pada Jum’at (1/3/2013) terkait isu intoleransi umat Kristen di Indonesia.

“Saya dengar cerita ini, karena saya ikut rapat DMI,” ungkap Ustadz Fahmi menjelaskan konfirmasi sumber cerita tersebut kepada arrahmah.com beberapa waktu lalu.

Setelah Maghrib pada hari tersebut, mantan Wakil Presiden RI yang sekarang menjadi Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia ini bercerita bahwa dia baru saja berceramah di hadapan 700 pendeta di Makassar dalam rangka Konferensi Gereja.

Dalam sesi tanya jawab, ada salah seorang peserta konferensi yang bertanya tentang gereja di Yasmin Bogor. Menjawab pertanyaan tersebut, Jusuf Kalla menuturkan bahwa umat Kristiani sudah memiliki 56 ribu gereja di seluruh Indonesia dan tidak ada masalah, seharusnya berterima kasih.

“Selain itu pertumbuhan gereja di Indonesia lebih besar daripada masjid. Lalu kenapa urusan 1 gereja ini disampaikan oleh umat Kristiani ke seluruh dunia?” tanyanya retoris.
Jusuf Kalla melanjutkan bahwa toleransi itu harus dari kedua belah pihak. Artinya dari umat Kristiani pun harus toleran. “Apa salahnya pembangunan dipindah lokasi sedikit saja? Tuhan tidak masalah kamu mau doa di mana. Izin membangun gereja bukan urusan Tuhan, tapi urusan walikota,” jawab JK dengan nada yang tinggi.
Peserta lainnya pun bertanya, “Mengapa kantor-kantor mesti ada masjid?” Dengan tegas JK menjawab, “Justru ini dalam rangka menghormati Anda. Jum’at kan tidak libur, Anda libur hari Minggu untuk kebaktian. Anda bisa kebaktian dengan 5 kali shift, (sedangkan) ibadah Jum’at cuma sekali. Kalau Anda tidak suka ada masjid di kantor, apa Anda mau hari liburnya ditukar, Jum’at libur, Minggu kerja. Pahami ini sebagai penghormatan umat Islam terhadap umat Kristen,” jelasnya.

Seperti diketahui, cerita dari Jusuf Kalla ini juga sudah banyak tersebar melalui Black Berry Messenger dan menjadi perhatian umat Islam Indonesia. Bagaimana yang lainnya dalam konteks ini? Bisakah minimal setegas Jusuf Kalla? Sumber: arrahmah.com -salam-online-mbn

Tweet produsen kondom Durex di kecam

mbn. repostfrom salam-online.com Promosi kondom Durex Indonesia di akun resminya  mengundang reaksi keras karena dinilai menjerumuskan dan merusak moral bangsa.
“Sex party itu sebenarnya bisa jadi ajang buat nyari jodoh loh lovers.”  Tulisan ini terpampang jelas di lini massa  akun resmi produsen kondom Durex Indonesia, @Durex_Love.
Aktivis sosial Fahira Fahmi Idris melalui akun @fahiraidris menulis: “Jualan kondom silahkan, tapi jangan ngajari budaya yang gak bener. Kamu Jualan Kondom / Mau Merusak Moral Bangsa?”
Mendapat reaksi keras dari putri politisi Fahmi Idris itu, admin @Durex_Love langsung menyatakan meminta waktu khusus untuk berdiskusi dengan Fahira Idris. “Saya mau tabayun, kita diskusi baik-baik,” tulis @Durex_Love.
“Jumat tolong siapkan waktu ya buat saya, mau diskusi dengan perusahaan anda,” tulis @fahiraidris.
Fahira Idris pun menjelaskan: ” Saya cuma mau kasih tau, bahwa nyari jodoh itu gak perlu pakai kondom !!”
Pada 29 April 2013, secara panjang lebar @Durex_Love mengupas fenomena sex party. “Sex party kelihatannya seru dan menggairahkan di dalam fantasi, fakta dan kenyataannya belum tentu semua siap dengan resikonya. Fantasi melakukan atau terlibat dalam sebuah kegiatan pesta seks, bukan hal yg mengejutkan. Banyak yg memimpikannya,” tulis @Durex_Love
Front Pembela Islam (FPI) menilai akun Twitter kondom Durex (@Durex_Love) yang mengajak sex party telah merusak generasi bangsa Indonesia.
“Ajakan party sex itu ajakan kemaksiatan dan merusak generasi bangsa Indonesia. Semua agama akan menolak ajakan itu,” kata  Ketua Bidang Dakwah dan Hubungan Lintas Agama DPP Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhsin Ahmad Alatas kepada itoday, Rabu (1/5/2013).
Kata Habib Muhsin, sosialisasi menggunakan kondom untuk mencegah penyakit Aids itu bohong. “Sosialisasi menggunakan kondom itu justru mengajak perzinahan. Umat Islam sangat menolak cara-cara pencegahan Aids dengan kondom,” ungkap Habib Muhsin.
Habib Muhsin juga mengatakan, tidak ada jaminan orang yang menggunakan kondom akan terhindar dari Aids ataupun penyakit kelamin.
Habib Muhsin meminta dalam upaya mencegah penyakit Aids moral agama yang harus dikedepankan. “Moral agama dapat mencegah kemaksiatan. Saat ini tugas kita untuk mengajak generasi muda untuk berbuat baik dan terhindar dari berbagai kemaksiatan,” papar Habib Muhsin.
Selain itu, Habib Muhsin mengatakan, ideologi liberal juga merusak bangsa Indonesia termasuk ajakan dari sex party. “Orang-orang liberal itu menganggap pesta seks itu tidak masalah. Padahal sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia,” pungkasnya.
Sementara itu akun Twitter kondom Durex mengakui kelalaian dengan menulis ajakan untuk sex party. “Mohon maaf kepada seluruh followers, ada kesalahan di dalam tweet kami. #durexsexlife,” tulis @Durex_Love.
Fahira Idris-2-jpeg.image
Fahira Idris
Durex juga mengatakan sex party untuk dijadikan mencari jodoh mempunyai risiko tinggi. “Maksudnya adl: sex party seringkali dijadikan ajang mencari jodoh. Risikonya tinggi! Sudah dipikirkan belum?! #durexsexlife,” tulis Durex.
Durex mengaku bertanggungjawab secara moral untuk memberikan pendidikan seks yang benar.
“@Durex_Love memiliki tanggung jawab penuh secara moral utk memberikan pendidikan seks dan relationship yg sehat dan benar. Tidak menyimpang,” kicau Durex.
Itulah, kalau berpromosi dan berkicau, pikir dan pertimbangkan dulu, apakah sudah benar? Benar bukan menurut kita, tapi benar menurut  tuntunan Allah dan Rasul-Nya. (sumber: itoday), salam-online

Piagam Jakarta; 'penghiatan sejarah' buat ummat islam

mbn, repostform:salam-online.com. Tanggal 22 Juni adalah hari yang bersejarah. Piagam Jakarta ditandatangani. Inti dari Piagam Jakarta adalah pelaksanaan syariah Islam bagi kaum Muslimin—sebagai ganti republik ini belum menjadikan Islam sebagai Dasar Negara.
Tetapi, setelah itu kenyataan berbicara lain. Tanggal 17 Agustus  1945 yang merupakan hari gembira bagi bangsa Indonesia karena diproklamirkannya kemerdekaan, namun sehari setelah proklamasi, 18 agustus 1945, adalah hari kelam bagi Umat Islam Indonesia.  Pada hari itu kesepakatan antara umat Islam dengan kelompok nasionalis dan Non-Muslim dikhianati.
Tujuh kata yang menjamin penegakan syariat Islam  di Indonesia dihapus. “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” berganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Dengan penghapusan ini, pembukaan konstitusi yang tadinya disebut sebagai Piagam Jakarta pun berubah drastis. Sebelumnya, para wakil kelompok Islam yang menjadi anggota Dokuritsu Zyumbi Tyioosaki atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berusaha keras menjadikan Islam sebagai Dasar Negara.
Perdebatan alot terjadi sehingga lahirlah kompromi berupa Piagam Jakarta. Islam tidak menjadi dasar Negara, namun kewajiban bagi para pemeluknya diatur dalam kontitusi.
BPUPKI kemudiaan menetapkan Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Naskah tersebut di tetapkan sebagai Mukaddimah UUD.
Pada tanggal 7 Agustus BPUPKI berubah menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)  yang di ketuai oleh Soekarno. Piagam Jakarta bertahan sebagai Mukaddimah  UUD hingga 17 Agustus 1945, karena selang sehari kemudian dipersoalkan oleh golongan Kristen, yang selanjutnya dibantu para pengkhianat.  Padahal A.A Maramis  yang menjadi wakil Kristen di PPKI sudah setuju dengan piagam tersebut dan ikut menandatangani.
Rekayasa Politik
suasana sidang Pembahasan Piagam Jakarta
Kronologi penghapusan Piagam Jakarta cukup misterius. Pada tanggal 18 Agustus Moh. Hatta mengaku ditemui oleh seorang perwira angkatan laut jepang. Katanya, opsir itu menyampaikan pesan berisi “ancaman” dari tokoh Kristen di Indonesia timur. Jika tujuh kata dalam Sila Pertama pembukaan (Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dihapus, mereka akan memisahkan diri dari Indonesia merdeka.
Hatta dan Soekarno, yang memang termasuk kelompok sekuler, kemudian membujuk anggota PPKI dari kelompok Muslim untuk menyetujui penghapusan tujuh kata itu. Di antara mereka hanya Ki Bagus Hadi Kusumo yang bersikeras tak mau. Menurut Ki Bagus, itu berarti mencederai gentlemen agreement (Kesepakatan di antara para pria terhormat) yang sudah mereka sepakati bersama. Soekarno dan Hatta kemudian menyuruh Tengku Moh. Hassan (anggota PPKI dari Aceh) dan Kasman Singodimedjo (Anggota Muhammadiyah seperti Ki Bagus) untuk membujuk Ki Bagus. Kasman-lah yang berhasil meyakinkan, terutama dengan janji syariat Islam akan masuk kembali dalam dalam konstitusi daerah setelah MPR terbentuk enam bulan kemudian. Dan, kenyataannya, Soekarno ingkar janji. Para pemimpin Islam kena tipu mulut manisnya Soekarno. Jadi, kelak, itulah salah satu alasan utama yang melatarbelakangi timbulnya perjuangan DI-TII pimpinan Kartosuwirjo.
Kelak Kasman sangat menyesali peran dalam penghapusan tujuh kata tersebut. Ternyata hal tersebut berujung pada nasib tragis umat Islam di Indonesia yang mayoritas tetapi tidak boleh menjalankan syariat di dalam negeri sendiri.  Kabarnya, Kasman Singodimedjo, selalu menangis jika teringat perannya membujuk Ki Bagus.
Misteri Opsir Jepang
Pertanyaan pertama dan kedua agak sulit dijawab. Sampai wafatnya, Hatta tak pernah  membuka mulut siapa pemberi dan penyampai pesan itu. Ia mengaku lupa (atau pura-pura lupa, ada juga dugaan itu fiktif, red) siapa nama opsir jepang tersebut. Ada beberapa spekulasi yang menyebut bahwa pemberi pesan itu adalah dr. Sam Ratulangi, tokoh krsten dari Sulawesi utara. Kini namanya diabadikaan sebagai nama universitas di Manado.
Artawijaya, dalam Peristiwa 18 Agustus 1945: “Pengkhianatan Kelompok Sekuler Menghapus Piagam Jakarta”, menguraikan beberapa teori yang mungkin bisa menjawab pertanyaan di atas. Pertama,  soal Opsir Jepang, Artawijaya mengambil teori Ridwan Saidi, seperti dikutip dari Dr Sujono Martoesewojo dkk, dalam bukunya “Mahasiswa ’45 Prapatan 10”. Menurut Ridwan, anggapan bahwa ada opsir jepang yang datang ke rumah Hatta  pada petang hari tanggal 18 Agustus 1945 kemungkinan karena kesalahpahaman saja. Iman Slamet, mahasiswa kedokteran yang menemani Piet Mamahit menemui Hatta memang berpostur tinggi, rambut pendek, mata sipit, dan suka berpakaian putih-putih. Iman Slamet inilah yang kemungkinan dikira Opsir Jepang oleh Hatta. (Ini aneh.  Jika betul Hatta mengira Slamet sebagai opsir Jepang, apa dia, Hatta, tidak bertanya tentang Slamet, kenapa bisa langsung menyimpulkan sebagai opsir Jepang?)
Lalu untuk apa para mahasiswa itu mendatangi Hatta? Menurut penelitian Artawijaya, pada saat proklamasi 17 agustus 1945 dibacakan di jalan Pegangsaan 56, Jakarta, tak ada satu pun tokoh Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Seharusnya, dalam suasana kemerdekaan dan untuk menunjukkan rasa persatuan, mereka hadir dalam acara tersebut.
Kenapa tokoh Kristen tak menghadiri acara penting dan sangat bersejarah itu?
Menurut Artawijaya, para aktivis Kristen tengah sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia timur, dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis mahasiswa. Mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka, sangat menusuk perasaan golongan Kristen.
Pada saat itu Latuharhaary sengaja mengajak  dr. Sam Ratulangi, I Gusti ketut Pudja, dan dua aktivis asal Kalimantan timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan mengharap isu ini juga menjadi tanggung jawab mahasiswa.
Kelompok mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang menemuinnya pukul  17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit dan Iman Slamet.
Setelah berdialog Hatta kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta malam itu juga para mahasiswa menelpon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia timur.
Tokoh dimaksud adalah dr. Sam Ratulangi yang sebelumnya mendatangi kelompok mahasiswa Prapatan pada pukul 12.00 WIB, tanggal 17 agustus 1945. Ratulangi meminta mereka untuk terlibat dalam penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kemudian mahasiswa itu menghubungi Hatta, dan Hatta mengatur pertemuan pada sore harinya.
Berdasarkan fakta tadi maka keterangan Hatta soal adanya pertemuan dengan Opsir Jepang, yang ia lupa namanya, diragukan. Karena itu dalam sebuah diskusi tentang piagam Jakarata, Ridwan Saidi mengatakan, Dengan segala hormat saya pada Bung Hatta, dia seorang yang bersahaja, tapi dalam kasus piagam Jakarta saya harus mengatakan bahwa ia berdusta.
Sejarawan Ridwan Saidi

Penelitian Ridwan Saidi dikuatkan dengan sebuah buku yang diterbitkan di Cornell University AS, yang mengatakan bahwa dalang di balik sosok misterius opsir Jepang adalah dr. Sam Ratulangi, yang disebut dalam buku itu sebagai an astune Christian politician from Manado, north Sulawesi (Seorang politisi Kristen yang licik dari Manado, Sulawesi Utara).
Jadi, menurut teori Ridwan Saidi, Hatta menyembunyikan fakta bahwa yang ia temui bukanlah seorang opsir Jepang. Bisa jadi yang ia temui dan disangka Opsir Jepang adalah mahasiswa, Iman Slamet, yang fisik dan pakaiannya mirip orang jepang. Sementara tokoh Indonesia timur yang membawa pesan itu adalah dr. Sam Ratulangi. (Tapi andai pun benar opsir Jepang, memangnya kenapa, tetap tak ada juga alasan untuk berkhianat, red).
Kaum Islamfobia
Pendek cerita, tujuh kata itu dihapus. Namun tak hanya itu, beberapa perubahan terkait peran Islam dalam kontitusi juga danulir.  Terkait pertanyaan ketiga, benarkah Indonesia Timur yang mayoritas Kristen tak akan melepaskan diri setelah penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta?
Sejarah kemudian membuktikan, kawasan yang menjadi modal klaim kelompok Kristen itu ternyata tetap berusaha melepaskan diri dari naungan NKRI—meskipun tujuh kata sebagai pengorbanan umat Islam itu sudah dihapus. Tapi, walaupun umat Islam (khususnya para pimpinan dan toloh Islam) kala itu sudah dikhianati, dikadalin dan ditipu, berikutnya tak jua mengambil pelajaran dari pengalaman pahit ini!
Pemberontakan RMS di Maluku dan Permesta di Sulawesi Utara membuktikan, tanpa tujuh kata tentang Syariat Islam pun, kelompok Kristen memang tak betah bernaung di bawah NKRI. Kelak kebencian itu menggelora lagi di kawasan yang sama. Sekian abad dimanja Belanda sebagai warga kelas satu membuat kelompok Kristen tak sudi dipimpin oleh Muslim.
Faktanya lagi, pada saat bangsa Indonesia masih berpegang teguh pada UUD 1945 (hasil perubahan yang memenuhi aspirasi kelompok Kristen), toh orang-orang Kristen dan Katolik dari Timur itu ternyata tetap sangat kuat keinginannya untuk  melepaskan diri dari Indonesia. Munculnya gerakan RMS, FKM, Kongres Papua, Papua Merdeka, adalah sebagai bukti. Demikian pula, peristiwa Ambon dan Poso yang dilatarbelakangi  rebutan posisi politik lokal menunjukkan sinyalemen tersebut.
Yang terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945 betul-betul tragedi hitam bagi umat Islam yang berbuntut panjang di masa depan. Umat Islam tertipu atau ditipu, dikhianati dan dibohongi! Tapi, sayangnya, dalam banyak peristiwa umat Islam negeri ini masih juga tak mengambil pelajaran dari pengalaman sebelumnya. Kerap gagap, kegigit lidah dan mudah jadi pecundang! Atau mengalah demi toleransi yang padahal golongan lain (yang minoritas) itu pun tak pernah mau bertoleransi dengan umat yang mayoritas ini.
Sebagai contoh, umat Islam ingin melaksanakan ajarannya sendiri yang diatur melalui Piagam Jakarta, lantas apa urusannya kelompok lain keberatan? Kenapa mereka menolak umat Islam untuk melaksanakan syariat yang diatur dengan aturan yang dibuat sendiri oleh umat Islam?   Begitu pula dengan sejumlah Perda yang mengatur umat Islam, kenapa harus sewot jika kaum Muslimin melaksanakan ajarannya sesuai ketentuan dalam Perda itu?
Belakangan, ketika sejumlah Perda yang mengatur pelaksanaan syariah untuk umat Islam muncul, kelompok yang dulu menolak Piagam Jakarta, termasuk kaum sekuler dan liberal saat ini, kembali sewot! Padahal, Soekarno sendiri dalam dekritnya, 5 Juli 1959, jelas-jelas menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD ’45. Jadi, jika sekarang umat Islam mengatur dirinya melalui Perda Syariah, itu sah-sah saja, dan sangat sesuai dengan UUD ’45, karena Piagam Jakarta itu menjiwai UUD.
Itu, baru segitu, kelompok yang sebenarnya tidak benar-benar berjuang untuk Indonesia merdeka (karena mereka lebih suka dipimpin penjajah yang ideologinya sama), mereka sudah sewot dan menusuk dari belakang. Nah, bagaimana jika umat Islam negeri ini menggugat dan menagih janji diberlakukannya Piagam Jakarta atau Dasar Negara yang berdasarkan Islam, sebagaimana janji Soekarno?
Sebab, walau bagaimanapun, umat mayoritas ini berhak merealisasikan Piagam Jakarta—lantaran penghapusan tujuh kata dan pengebirian kesepakatan lainnya dalam UUD 45 itu adalah tidak sah. Piagam Jakarta itu sudah disepakati dan disahkan pada 22 Juni 1945, dan golongan Kristen, AA Maramis pun sudah tanda tangan!
Jadi, jika Perda-perda Syariah itu dijalankan, sah-sah saja dan merupakan hak umat Islam sebagai bagian pelaksanaan Piagam Jakarta. Sedang penghapusan tujuh kata itu dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan wakil-wakil Islam yang bersama-sama kelompok nasionalis-sekuler dan wakil dari golongan Kristen menandatangani Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945.
Karenanya, sekali lagi, penghapusan tujuh kata itu tidak sah. Dengan demikian, Piagam Jakarta itu sampai sekarang tetap berlaku. Apalagi disebutkan,  UUD 45 itu dijiwai oleh Piagam Jakarta. Sementara Dasar Negara Islam yang dijanjikan belum jua diberlakukan, karena pengkhianatan, pembohongan dan penipuan yang dilakukan terhadap umat Islam.
(Disunting dan diperbarui kembali oleh salam-online.com dari Majalah An-Najah Edisi 72)