Sense of Empati
Seekor tikus
mengintip di balik celah di tembok untuk mengamati sang petani dan
istrinya, saat membuka sebuah bungkusan. Ada mainan pikirnya. Tapi dia
terkejut sekali, ternyata bungkusan itu berisi perangkap tikus.
Sang tikuspun berlari kembali ke ladang
pertanian itu, ia menjerit memberi peringatan, “Awas ada perangkap
tikus di dalam rumah, hati-hati ada perangkap tikus di dalam rumah!”
Sang ayam dengan tenang berkokok dan
sambil tetap menggaruki tanah, mengangkat kepalanya dan berkata. ‘Ya,
maafkan aku Pak Tikus. Aku tahu memang ini masalah besar bagi kamu,
tapi buat aku secara pribadi tidak ada masalah. Jadi jangan buat aku
sakit kepala bro!!!.”
Tikus berbalik dan pergi menuju sang
kambing. Katanya, “Ada perangkap tikus di dalam rumah, sebuah perangkap
tikus di dalam rumah!”
‘Wah aku menyesal dengan kabar ini.” Si
kambing menghibur dengan penuh simpati. “Tetapi tidak ada sesuatu pun
yang bisa kulakukan kecuali berdo’a. Yakinlah, kamu senantiasa ada
dalam do’a-do’aku!”
Tikus kemudian berbelok menuju si
lembu. ‘Oh! Sebuah perangkap tikus?” jadi saya dalam bahaya besar ya?”
kata lembu sambil ketawa, berteleran air liur.
Tikus kembali ke rumah dengan kepala
tertunduk dan merasa begitu patah hati, kesal dan sedih, terpaksa
menghadapi perangkap tikus itu sendirian. Ia merasa sungguh-sungguh
sendiri.
Malam tiba, dan terdengar suara bergema
di seluruh rumah, seperti bunyi perangkap tikus yang berjaya menagkap
mangsa. Istri petani berlari melihat apa saja yang terperangkap. Di
dalam kegelapan itu dia tak bisa melihat bahwa yang terjebak itu adalah
seekor ular berbisa. Ular itu sempat mematok tangan istri petani itu.
Petani itu bergegas membawanya ke rumah sakit.
Si istri kembali ke rumah dengan tubuh
menggigil, demam. Dan sudah menjadi kebiasaan, setiap orang sakit
demam, obat pertama adalah memberikan sup ayam segar yang hangat.
Petani itupun mengasah pisaunya, dan pergi ke kandang, ,mencari ayam
untuk bahan supnya.
Tapi, bisa itu sungguh jahat, si istri
tak kunjung sembuh. Banyak tetangga yang datang membesuk dan tamupun
tumpah ruah ke rumahnya. Iapun harus menyiapkan makanan, dan terpaksa
kambing di kandang itu dijadikan gulai. Tapi itu tidak cukup, bisa itu
tak dapat taklukan.
Si istri mati, dan berpuluh-puluh orang
datang untuk mengurus pemakaman, juga melakukan ritual selamatan. Tak
ada cara lain, lembu di kandang itupun dijadikan panganan untuk puluhan
orang dan peserta selamatan.
Kawan, ada hikmah yang dapat kita petik
dari cerita diatas, hilangnya Rasa EMPATI terhadap sesama dapat
berakibat fatal bagi diri kita dan masyarakat. Sikap mementingkan diri
sendiri lebih banyak keburukan daripada kebaikanya. Saat ini kita
sedang membutuhkan orang-orang yang memiliki “sense of empati” yang
tinggi, yang memiliki kepekaan empati.
Kini, empati menjadi suatu yang harus
hidup dalam sanubari karena dengan berempati, menunjukkan bahwa kita
adalah manusia yang masih hidup, manusia yang berperasaan, dan akhirnya
menuntun kita menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama.
“Maut bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup, Yang terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup” (Norman Cousins)
0 komentar:
Post a Comment
terimakasih atas komentar dan kunjungan anda.