Sejarah Nusantara (1)
Latar Belakang Alam
Sejarah Nusantara dalam tulisan ini dimaknai sebagai catatan mengenai rangkaian peristiwa yang terjadi di kepulauan antara Benua Asia dan Benua Australia sebelum berdirinya Republik Indonesia.
Wilayah utama daratan Nusantara terbentuk dari dua ujung Superbenua Pangaea di Era Mesozoikum (250 juta tahun yang lalu), namun bagian dari lempeng benua yang berbeda. Dua bagian ini bergerak mendekat akibat pergerakan lempengnya, sehingga di saat Zaman Es terakhir telah terbentuk selat besar di antara Paparan Sunda di barat dan Paparan Sahul di timur. Pulau Sulawesi
dan pulau-pulau di sekitarnya mengisi ruang di antara dua bagian benua
yang berseberangan. Kepulauan antara ini oleh para ahli biologi sekarang
disebut sebagai Wallacea, suatu kawasan yang memiliki distribusi fauna yang unik. Situasi geologi dan geografi ini berimplikasi pada aspek topografi, iklim, kesuburan tanah, sebaran makhluk hidup (khususnya tumbuhan dan hewan), serta migrasi manusia di wilayah ini.
Bagian pertemuan Lempeng Eurasia di barat, Lempeng Indo-Australia di selatan, dan Lempeng Pasifik di timur laut menjadi daerah vulkanik aktif yang memberi kekayaan mineral bagi tanah di sekitarnya sehingga sangat baik bagi pertanian, namun juga rawan gempa bumi.
Pertemuan lempeng benua ini juga mengangkat sebagian dasar laut ke atas
mengakibatkan adanya formasi perbukitan karst yang kaya gua di sejumlah tempat. Fosil-fosil hewan laut ditemukan di kawasan ini.
Nusantara terletak di daerah tropika,
yang berarti memiliki laut hangat dan mendapat penyinaran cahaya
matahari terus-menerus sepanjang tahun dengan intensitas tinggi. Situasi
ini mendorong terbentuknya ekosistem yang kaya keanekaragaman makhluk
hidup, baik tumbuhan maupun hewan. Lautnya hangat dan menjadi titik
pertemuan dua samudera besar. Selat di antara dua bagian benua
(Wallacea) merupakan bagian dari arus laut dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik yang kaya sumberdaya laut. Terumbu karang
di wilayah ini merupakan tempat dengan keanekaragaman hayati sangat
tinggi. Kekayaan alam di darat dan laut mewarnai kultur awal masyarakat
penghuninya. Banyak di antara penduduk asli yang hidup mengandalkan pada
kekayaan laut dan membuat mereka memahami navigasi pelayaran dasar, dan
kelak membantu dalam penghunian wilayah Pasifik (Oseania).
Benua Australia dan perairan Samudera Hindia dan Pasifik di sisi lain
memberikan faktor variasi iklim tahunan yang penting. Nusantara
dipengaruhi oleh sistem muson dengan akibat banyak tempat yang mengalami
perbedaan ketersediaan air dalam setahun. Sebagian besar wilayah
mengenal musim kemarau dan musim penghujan. Bagi pelaut dikenal angin
barat (terjadi pada musim penghujan) dan angin timur. Pada era
perdagangan antarpulau yang mengandalkan kapal berlayar, pola angin ini sangat penting dalam penjadwalan perdagangan.
Dari sudut persebaran makhluk hidup, wilayah ini merupakan titik
pertemuan dua provinsi flora dan tipe fauna yang berbeda, sebagai akibat
proses evolusi yang berjalan terpisah, namun kemudian bertemu. Wilayah
bagian Paparan Sunda, yang selalu tidak jauh dari ekuator, memiliki
fauna tipe Eurasia, sedangkan wilayah bagian Paparan Sahul di timur
memiliki fauna tipe Australia. Kawasan Wallacea membentuk "jembatan"
bagi percampuran dua tipe ini, namun karena agak terisolasi ia memiliki
tipe yang khas. Hal ini disadari oleh sejumlah sarjana dari abad ke-19,
seperti Alfred Wallace, Max Carl Wilhelm Weber, dan Richard Lydecker.
Berbeda dengan fauna, sebaran flora (tumbuhan) di wilayah ini lebih
tercampur, bahkan membentuk suatu provinsi flora yang khas, berbeda dari
tipe di India dan Asia Timur maupun kawasan kering Australia, yang
dinamakan oleh botaniwan sebagai Malesia.
Migrasi manusia kemudian mendorong persebaran flora di daerah ini lebih
jauh dan juga masuknya tumbuhan dan hewan asing dari daratan Eurasia,
Amerika, dan Afrika pada masa sejarah.
Zaman Prasajarah
Fosil-fosil Homo erectus yang ditemukan di beberapa tapak di Jawa menunjukkan kemungkinan kontinuitas populasi mulai dari 1,7 juta tahun (Sangiran)
hingga 50.000 tahun yang lalu (Ngandong). Rentang waktu yang panjang
menunjukkan perubahan fitur yang berakibat pada dua subspesies berbeda (H. erectus paleojavanicus yang lebih tua daripada H. erectus soloensis). Swisher (1996) mengajukan tesis bahwa hingga 50.000 tahun yang lalu mereka telah hidup sezaman dengan manusia modern H. sapiens. [1]
Migrasi H. sapiens (manusia modern) masuk ke wilayah Nusantara
diperkirakan terjadi pada rentang waktu antara 160.000 dan 100.000
sampai tahun yang lalu. Masyarakat berciri fisik Austrolomelanesoid,
yang kelak menjadi moyang beberapa suku pribumi di Semenanjung Malaya (Semang), Filipina (Negrito), Aborigin Australia, Papua, dan Melanesia, memasuki kawasan Paparan Sunda. Mereka kemudian bergerak ke timur. Gua Niah di Sarawak
memiliki sisa kerangka tertua yang mewakili masyarakat ini (berumur
sekitar 60 sampai 50 ribu tahun). Sisa-sisa tengkorak ditemukan pula di
gua-gua daerah karst di Jawa (Pegunungan Sewu). Mereka adalah pendukung kultur Paleolitikum yang belum mengenal budidaya tanaman atau beternak dan hidup meramu (hunt and gathering).
Penemuan seri kerangka makhluk mirip manusia di Liang Bua, Pulau Flores, membuka kemungkinan adanya spesies hominid ketiga, yang saat ini dikenal sebagai H. floresiensis.
Selanjutnya kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi, perpindahan
besar-besaran masuk ke kepulauan Nusantara (imigrasi) dilakukan oleh ras
Austronesia dari Yunan dan mereka menjadi nenek moyang suku-suku di
wilayah Nusantara bagian barat. Mereka datang dalam 2 gelombang
kedatangan yaitu sekitar tahun 2.500 SM dan 1.500 SM.
Bangsa nenek moyang ini telah memiliki peradaban yang cukup baik,
mereka paham cara bertani yang lebih baik, ilmu pelayaran bahkan
astronomi. Mereka juga sudah memiliki sistem tata pemerintahan sederhana
serta memiliki pemimpin (raja kecil). Kedatangan imigran dari India
pada abad-abad akhir Sebelum Masehi memperkenalkan kepada mereka sistem tata pemerintahan yang lebih maju (kerajaan).
0 komentar:
Post a Comment
terimakasih atas komentar dan kunjungan anda.