Menembus Batas Nalar

Sang neurolog Donald B. Calne, melalui karyanya “Within Reason” atau Batas Nalar, memperpanjang daftar nama saintis Barat yang bersikap kritis terhadap sains dan teknologi. Dalam daftar ini terdapat Richard Murray Gell-Mann, Albert Einstein, Roger Penrose, Paul Davies, Alwyn Scott, dan lain-lain. Pertanyaan-pertanyaan kritis dilontarkan oleh mereka dan ditujukan pada wilayah di mana sains berbicara tentang fenomena yang paling dekat dengan kita (homo sapiens): kultur, kesadaran diri (manusia), dan mental.

Secara umum, kritik ini menegaskan keterbatasan sains dalam mengungkap fenomena kultural dan menomena kesadaran. Meski terdapat keserupaan dalam kandungan kritik-kritik yang diajukan, sikap kritis para saintis tersebut tumbuh dalam latar belakang dan dengan motivasi yang berbeda.

Batas Nalar dalam Pandangan Donald B. Calne

Bagi Calne, direktur Pusat Penanggulangan Penyakit Syaraf, yang mengusik perhatian dan pemikiran dia adalah fakta-fakta di mana nalar dan pendidikan tidak tampak mampu untuk mengendalikan perilaku manusia. Kegelisahan ini tercermin dalam pertanyaan kritis Calne berikut:

”Jika kita berpikir lebih banyak, akankah kita bertindak lebih baik?”

Calne, melalui pencermatan kritis terhadap sejarah, mendapati berbagai peristiwa kejam, tidak beradab, irasional, yang dilakukan oleh individu, kelompok ataupun bangsa yang justeru telah meraih kemajuan dalam pendidikan dan penalaran. Untuk lebih sistematis dalam memahami fenomena yang menggelisahkan ini, Calne menuangkan problematika nalar ke dalam bentuk pertanyaan yang lebih umum:

”Apa yang kita tahu mengenai nalar dan cara menggunakannya?”

Kegelisahan Calne, dan latar belakang sosial dia sebagai anggota komunitas neurolog yang sering menjumpai perilaku disorders pada lingkungan sosialnya, memacu Calne untuk terus-menerus mencari jawaban tentang nalar. Dalam lingkungan profesionalnya, Calne mencari jawaban ini melalui pengamatan terhadap neron dan otak manusia, dalam perspektif teoretik biologi evolusioner.

Dalam suatu penelusuran historis, Calne menuturkan tentang tampilnya era Enlightment di Eropa pada abad ke-17 dan ke -18, setelah bangsa ini mengalami stagnasi intelektual selama lima belas abad. Di masa kegelapan Barat itu, di Timur, menurut pengakuan Calne, justeru tengah terjadi kemajuan-kemajuan di bidang nalar. Calne mencatat kemajuan-kemajuan yang dicapai Dunia Islam dalam Matematika, Astronomi, Kedokteran dan lain-lain.

Perubahan dimensi intelektual di era Enlighment membawa bangsa Eropa pada suatu tatanan kehidupan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Kehidupan intelektual di era Enlightment ini dicirikan oleh cara pandang baru terhadap alam dan nalar. Tentang ini Calne mengutip ucapan Isaac Newton :

”Sains terdiri dari menemukan kerangka dan cara kerja Alam, dan sejauh mungkin mereduksinya jadi rumus dan dalil umum—meneguhkan rumus dan dalil itu dengan hasil pengamatan dan percobaan, lalu dari sana menarik kesimpulan mengenai sebab dan akibat.”

Kemajuan ini diiringi dengan perubahan sosial-politik di Eropa, di mana nalar dan rasionalitas mendapat tempat yang makin tinggi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pada saat yang sama, makin meningkat kepercayaan dan harapan bahwa sains dan nalar mampu melenyapkan kemiskinan, kebodohan, dan kekejaman di dunia.

Namun, Calne menilai bahwa harapan yang digantungkan pada nalar terlalu berlebihan. Meletusnya perang dunia dan krisis ekonomi berulang-ulang menjadi bukti keterbatasan nalar dalam menjalankan peranan sebagai ’dewa penyelamat.’ Gerakan menjauhi nalar secara berangsur mulai tampil kembali dan memarak ke dalam panggung sejarah. Bandul sejarah kembali ke titik yang berlawanan. Bagi Calne, keterbatasan bukan hanya pada sains, tapi juga pada dunia akademis secara umum. Sikap Calne dalam situasi yang dia cermati ini dinyatakannya sebagai berikut:

”Bahwa kekuatan nalar betul-betul merupakan kemampuan manusia yang nyata, jelas, dan tidak-boleh-tidak bekerja dalam hampir semua aspek kehidupannya. Tapi nalar tidak bisa memberi atau mengendalikan tujuan-tujuan yang terkait dengannya.”

Dalam uraian Calne di buku ”Batas Nalar,” nalar diartikan sebagai perkakas biologis yang berkembang secara evolusioner, yang bertugas menjawab pertanyaan ”bagaimana?”, tetapi bukan ”mengapa?”. Nalar merupakan fasilitator, bukan inisiator. Nalar kita gunakan untuk mendapatkan apa yang kita mau, bukan untuk menentukan apa yang kita mau. ”Mengapa?” merujuk pada motivasi, yang bagi Calne, terpisah dari domain kerja nalar.

Nalar tidak memiliki sifat meraih kepuasan emosional. Sedangkan moral, yang bertautan dengan hal-hal yang seharusnya dan diinginkan, terpaut dengan emosi dan perintah budaya. Naluri dan emosi mendorong kita karena memuaskannya akan membawa kebahagiaan, dan mengabaikannya akan menimbulkan kekecewaan. Kebudayaan dapat mengaitkan tujuan-tujuan dengan naluri dan emosi, dan keduanya memunculkan motivasi. Nalar jauh dari gelora hasrat manusia. Calne melihat nalar sebagai terpisah dari motiv. Meski peringkat-peringkat motiv berada dalam wilayah nalar, menentukan pilihan motiv berada di luar batas nalar.

Buku ”Batas Nalar” sebagai sebuah karya besar dari Donald B.Calne menyampaikan sebuah pesan yang sangat penting bahwa meskipun ampuh, nalar tidak bisa dibiarkan sendiri dalam menyelesaikan persoalan dalam kehidupan. Namun demikian Calne masih menyisakan pertanyaan tentang bagaimana manusia dapat menetapkan motiv-motiv, tujuan-tujuan, dan pada gilirannya mengendalikan nalar.

Calne sendiri merupakan penganut biologi evolusioner yang konsisten. Dia mengembalikan segala persoalan pada evolusi, yang tujuan utamanya adalah mempertahankan kehidupan (biologis) spesies. Nalar dan akal-budi merupakan produk evolusi. Calne tidak banyak mengelaborasi aspek intangible manusia, seperti kesadaran dan persoalan akal-budi tubuh (mind-body problem). Pada aspek-aspek intangible ini pencarian faktor-faktor yang berpengaruh besar dalam mengarahkan penalaran dan mengendalikan emosi manusia dapat dilanjutkan.

Misteri Kesadaran

Sejak awal peradaban manusia, para filosof, seniman, fisikawan telah berupaya menyelami dan menyingkap misteri kesadaran. Di sini berjajar nama-nama besar mulai dari Plato, Rene Decartes, William James, George Santayana, Roger Penrose dan banyak lagi pemikir/saintis terkenal lainnya. Dalam sains, kesadaran diterima sebagai pokok bahasan saintifik dengan mengambil pendekatan-pendekatan dari teknologi medis untuk menganalisis otak, insights dari fisika, kimia, biologi, neuroscience, psikologi, sosiologi dan filosofi.

Alwyn Scott, seorang ahli fisika non-linier, merangkum berbagai capaian tentang kesadaran, yang dia tuangkan dalam buku “Stairway to the mind: controversial new science of consciousness.“ Scott memaparkan suatu skema hirarkis yang menstrukturkan anak-anak tangga untuk memahami kesadaran sebagai berikut:

Culture Consciousness emergent reduksi Brain Assemblies of neurons Nerve impulses Biochemical structures Molecules Atoms

Dalam sains reduksionistik, berlaku pandangan bahwa untuk memahami fenomena pada satu tingkatan, maka fenomena pada tingkat-tingkat di bawahnya harus dipahami lebih dahulu. Jadi untuk memahami kesadaran, orang harus mempelajari otak; untuk mempelajari otak, orang harus mempelajari neron; untuk mempelajari neron orang harus mepelajari proses dinamik protein; dan untuk mempelajari protein orang harus akrab dengan kimia dan fisika atom.

Namun pandangan reduksionistik demikian telah dibuktikan kelemahannya, terutama dengan terungkapnya fenomena emergent. Pada intinya, fenomena emergent ini memperlihatkan bahwa fenomena di suatu tingkatan bukan merupakan kumpulan agregat dari fenomena di tingkat-tingkat di bawahnya. Dengan perkataan lain, keseluruhan bukan jumlah agregat dari bagian-bagiannya.

Dalam terminologi applied mathematics dikenal istilah kejadian non-linier, seperti angin tornado. Dalam matematika linier, prediksi dapat dilakukan oleh karena keseluruhan merupakan jumlah eksak dari bagian-bagian. Dalam matematika non-linier, diperlukan superkomputer untuk memprediksi kapan tornado akan terjadi. Begitu pun masih mungkin prediksi ini salah. Kejadian non-linier merupakan contoh fenomena emergent.

Jadi, kesadaran bukan merupakan asembli dari atom, molekul, neuron. Tetapi kesadaran emerges dari semua elemen-elemen ini. Kesadaran, meski terpaut dengan fenomena atomik, kimiawi dan neronik, merupakan fenomena yang sepenuhnya baru. Sains reduksionistik, menurut Scott, tidak berhasil memberikan jawaban yang utuh tentang kesadaran manusia oleh karena ketidakmampuannya menjelaskan fenomena emergent tersebut.

Dalam cara yang berbeda, Prof. Murray Gell-Mann, Seorang pemenang Nobel untuk Fisika, dalam novelnya “The Quark and The Jaguar,” menuturkan:

“There would seem to be an enormous gap between fundamental physics and these other pursuits… Elementary particles have no individuality. … By contrast, … linguistics, history are concerned with individual empires …”

Menapak anak-anak tangga dari dasar ke puncak piramida sains merupakan pergeseran dari kesederhanaan menuju kompleksitas. Ini yang dimetaforkan oleh Gell-Mann sebagai perjalanan dari Quark (fenomena fisika) menuju Jaguar (fenomena mahluk hidup yang adaptif). Masyarakat, sebagai sistem yang kreatif dipandang memiliki kompleksitas yang sangat tinggi. Penguasaan terhadap hukum-hukum universal matematika, fisika, tidak begitu saja membuka jalan untuk menerangkan fenomena mental dan fenomena sosial-politik yang dicirikan oleh emergent. Jadi, pada wilayah dengan kompleksitas tinggi seperti fenomena mental dan sosial, dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang khusus dan khas untuk mempelajarinya.

‘Batas Nalar’ sebagai Persoalan Epistemologis

Pertanyaan tentang ’batas nalar’ ini tampaknya bermuara pada misteri kesadaran manusia. Untuk bisa menyentuh atau bahkan menembus ’batas nalar,’ berbagai upaya pencarian intelektual (intelectual inquiry) perlu dikerahkan untuk secara berangur menyingkap misteri kesadaran ini.

Para filosof telah membuktikan bahwa kesadaran merupakan sejenis pengetahuan, tapi bukan pengetahuan instrumental (sebagaimana didefinisikan oleh Calne). Misalnya, ketika seseorang sedang marah, dia memiliki kesadaran akan emosi marahnya. Kesadaran ini bertautan erat dengan apa yang dalam filsafat dikenal dengan presentational knowledge. Ini berbeda dengan acquired knowledge yang diraih manusia melalui perantaraan konsep-konsep kognitif.

Dengan menempatkan kesadaran pada sentral bahasan, persoalan batas nalar yang dilontarkan Calne dapat dinyatakan ulang sebagai berikut:

Pengetahuan instrumental tidak bisa memberi atau mengendalikan tujuan-tujuan yang terkait dengannya. Tapi kesadaran, atau pengetahuan presentasional itulah yang menetapkan tujuan dan menggerakkan manusia.

Pengalaman memperlihatkan bahwa bukan naluri atau emosi yang bisa betul-betul menggerakkan manusia, sebagaimana dipercaya Calne. Meski emosi mendorong reaksi-reaksi cepat (gut reactions), pengalaman menunjukkan bahwa reaksi emosional demikian tidak memiliki subsistensi yang kokoh. Dorongan emosi ini tidak menjelaskan adanya tindakan manusia yang memperlihatkan tekad yang begitu kuat, kestabilan dan konsistensi. Ini tidak bisa dijelaskan dengan merujuk pada emosi dan perintah kultural.

Jadi, batas nalar sebagaimana dipersepsi Calne dalam buku ”Batas Nalar,” terletak pada domain kesadaran, yang pada esensinya merupakan sejenis pengetahuan juga (yakni pengetahuan presentasional). Untuk bisa ’menembus’ batas ini, untuk bisa menyatukan nalar dan moral, yang benar dan yang baik, upaya-upaya pencarian intelektual perlu dikerahkan dan dikembangkan untuk mampu menyingkap misteri kesadaran. Sebagai penutup, disampaikan himbauan Alwyn Scott berikut ini, yang menawarkan sebuah jalan untuk ’menembus batas nalar’:

”If we are ever to chieve this level of understanding within the context of natural science, all of us must work together. Physicists and physiologists, neurologists and ethnologists, biochemists and philosophers, engineers and poets abandon flase pride and outworn tribal royalties in order to learn how to learn from each other. Only in this way can our collective imagination transcende the limited perspectives of a single rung of the metaphorical ladder and approach an understanding of our awareness of the real one.”
 

0 komentar:

Post a Comment

terimakasih atas komentar dan kunjungan anda.