Problem Aqidah Masyarakat dan Ikhwah
Sudah belasan kali undian doorpize dilakukan. Namun hasilnya sama. Belum satupun peserta dari kelompok pegawai di barisan depan kanan namanya keluar. Padahal pimpinan instansi saat itu menginginkan mereka juga dapat. Maka dibuatlah aturan tambahan. Untuk sementara, yang boleh mendapatkan hadiah adalah dari golongan mereka; karyawan harian. Jika muncul kupon peserta selain kelompok itu, akan dikembalikan.
Belasan kali nomor kupon mereka tak juga keluar, terdengarlah ide sebagian mereka. Ide yang dari tadi sudah menjalar dalam benak mereka. Sebentuk keyakinan yang tak lagi bisa dipendam. “Ini karena posisi tempat duduk. Kalau kita tetap di sini, keberuntungan itu takkan datang. Kami usul pindah tempat duduk” salah satu karyawan harian berteriak cukup keras mewakili teman-temannya. “Setuju”. “Ya, ke sana saja.” Tanpa jeda waktu, mereka segera berlari dan pindah ke posisi yang ditunjuk oleh salah seorang dari mereka.
Kini posisi mereka bukan lagi di sebelah kanan ruangan. Mereka telah berpindah ke sebelah kiri depan, yang tadinya memang kosong. Undian dimulai lagi. Kupon pertama, mereka tidak dapat. Kupon kedua juga bukan dari mereka. Kupon ketiga, “tiga… empat… dua”, segera seorang peserta berdiri lalu berlari ke tengah ruangan untuk mengambil hadiah. “Nah, benar kan. Nogo dino ada di posisi ini,” komentar salah seorang karyawan harian. Beberapa nomor kupon lain menyusul. Kini mereka benar-benar mendapatkan “keberuntungan.”
“Sekarang pindah lagi ke posisi tadi!” perintah pimpinan instansi. Menyusul kemudian peraturan dikembalikan seperti semula bahwa kupon pegawai jenis apapun yang keluar, ia berhak atas hadiahnya. Dan ternyata sebagian pemenangnya adalah karyawan harian yang kini telah kembali pada tempat duduknya semula.
Bagi orang yang rasional, ia akan menyadari bahwa hal di atas bisa dijelaskan dengan ilmu matematika yang disebut “peluang”. Namun bagi orang yang memiliki problem aqidah, logika “nogo dino” yang menjadi penentu. Bahwa hari dan weton tertentu membawa keberuntungan pada arah tertentu. Maka ke arah itulah mereka menuju, kea rah itulah mereka duduk. Meskipun setelah kembali ke tempat semula tetap mendapat hadiah –pada kasus di atas- keyakinan mereka tidak goyah. Mereka masih meyakini bahwa keberuntungan ada di arah kiri (timur) tadi, bukan kanan (barat).
Demikianlah kondisi masyarakat kita. Sebagiannya. Masih ada problem aqidah yang cukup akut bersemayam dalam jiwa mereka. Meyakini keberuntungan ada di arah tertentu dalam hari tertentu adalah sebagian kecilnya. Banyak contoh lain yang menjadi bukti riil problem aqidah ini.
Maka, menjadi tugas kader dakwah untuk memperbaiki masyarakat. Menjadi tanggungjawab para ikhwah untuk mentarbiyah mereka. Hingga tercapailah muwashafat pertama yang diinginkan Islam, yang diinginkan dakwah; salimul aqidah. Aqidah yang selamat, aqidah yang benar. Keimanan yang tidak lagi terkotori oleh kesyirikan-kesyirikan semacam itu.
Tentu saja, kader dakwah, para ikhwah, dituntut untuk terlebih dulu memiliki muwashafat salimul aqidah sebelum memperbaiki orang lain. Dan kita semua tentu yakin, bahwa problem-problem aqidah seperti contoh di atas, sudah selesai di kalangan ikhwah. Sudah beres. Sudah teratasi.
Namun bagi seorang ikhwah, salimul aqidah bukan saja terbatas pada bebasnya keyakinan kita dari kesyirikan nyata seperti “nogo dino”. Lebih dari itu, dalam domain yang sama –dalam hal rezeki- seorang ikhwah harus meyakini bahwa Allah Ar-Raziq, Allah yang Maha Pemberi Rezeki. Dengan keyakinan yang sempurna, maka seorang ikhwah dengan jiwa yang kokoh hanya berusaha mencari rezeki yang halal. Ia tak tergoda dengan yang syubhat, apalagi yang haram. Sebab ia yakin: wa maa min daabbatin fil ardhi illaa ‘ala Allaah rizquhaa. Tak ada satupun makhluk melata di bumi melainkan Allah menjamin rezekinya. Kalau demikian, bukankah sia-sia saja seorang berusaha mengejar yang haram selian mendapatkan dosa. Bukankah ia takkan menambah jatah rezeki yang ditentukan baginya, kecuali hanya mendekatkannya ke neraka?
Meyakini Laa Raaziqa illa Allah dalam bentuk yang lebih luas juga menjadikan seorang kader dakwah siap menjalankan segala amanah tanpa ketakutan pada sempitnya rezeki atau ketakutan-ketakutan yang tak beralasan. Ia yakin bahwa yang memberikan kesehata n atau menentukan sakit adalah Allah. Maka, dengan keyakinan seperti ini, ikhwah tidak terjebak pada bisikan syetan, “Mendung nih. Kalau kamu berangkat dan nanti kehujanan bisa flu. Mending izin saja halaqah pekan ini”. Halus. Terasa argumentatif. Seakan berada dalam domain rukhshah. Tapi itu sebenarnya problem aqidah bagi ikhwah, jika ia kemudian menurutinya. Jadilah ia tidak hadir dalam halaqah karena khawatir sakit, padahal ia belum sakit. Jadilah ia tidak menghadiri acara dakwah karena khawatir kesehatannya terganggu padahal ia belum benar-benar lelah. Itu problem aqidah. Dan ternyata… problem ini mulai menjangkiti sebagian ikhwah. Semoga Allah melindungi kita dan melindungi semua saudara kita. Allaahumma aamiin. [Muchlisin]
Belasan kali nomor kupon mereka tak juga keluar, terdengarlah ide sebagian mereka. Ide yang dari tadi sudah menjalar dalam benak mereka. Sebentuk keyakinan yang tak lagi bisa dipendam. “Ini karena posisi tempat duduk. Kalau kita tetap di sini, keberuntungan itu takkan datang. Kami usul pindah tempat duduk” salah satu karyawan harian berteriak cukup keras mewakili teman-temannya. “Setuju”. “Ya, ke sana saja.” Tanpa jeda waktu, mereka segera berlari dan pindah ke posisi yang ditunjuk oleh salah seorang dari mereka.
Kini posisi mereka bukan lagi di sebelah kanan ruangan. Mereka telah berpindah ke sebelah kiri depan, yang tadinya memang kosong. Undian dimulai lagi. Kupon pertama, mereka tidak dapat. Kupon kedua juga bukan dari mereka. Kupon ketiga, “tiga… empat… dua”, segera seorang peserta berdiri lalu berlari ke tengah ruangan untuk mengambil hadiah. “Nah, benar kan. Nogo dino ada di posisi ini,” komentar salah seorang karyawan harian. Beberapa nomor kupon lain menyusul. Kini mereka benar-benar mendapatkan “keberuntungan.”
“Sekarang pindah lagi ke posisi tadi!” perintah pimpinan instansi. Menyusul kemudian peraturan dikembalikan seperti semula bahwa kupon pegawai jenis apapun yang keluar, ia berhak atas hadiahnya. Dan ternyata sebagian pemenangnya adalah karyawan harian yang kini telah kembali pada tempat duduknya semula.
Bagi orang yang rasional, ia akan menyadari bahwa hal di atas bisa dijelaskan dengan ilmu matematika yang disebut “peluang”. Namun bagi orang yang memiliki problem aqidah, logika “nogo dino” yang menjadi penentu. Bahwa hari dan weton tertentu membawa keberuntungan pada arah tertentu. Maka ke arah itulah mereka menuju, kea rah itulah mereka duduk. Meskipun setelah kembali ke tempat semula tetap mendapat hadiah –pada kasus di atas- keyakinan mereka tidak goyah. Mereka masih meyakini bahwa keberuntungan ada di arah kiri (timur) tadi, bukan kanan (barat).
Demikianlah kondisi masyarakat kita. Sebagiannya. Masih ada problem aqidah yang cukup akut bersemayam dalam jiwa mereka. Meyakini keberuntungan ada di arah tertentu dalam hari tertentu adalah sebagian kecilnya. Banyak contoh lain yang menjadi bukti riil problem aqidah ini.
Maka, menjadi tugas kader dakwah untuk memperbaiki masyarakat. Menjadi tanggungjawab para ikhwah untuk mentarbiyah mereka. Hingga tercapailah muwashafat pertama yang diinginkan Islam, yang diinginkan dakwah; salimul aqidah. Aqidah yang selamat, aqidah yang benar. Keimanan yang tidak lagi terkotori oleh kesyirikan-kesyirikan semacam itu.
Tentu saja, kader dakwah, para ikhwah, dituntut untuk terlebih dulu memiliki muwashafat salimul aqidah sebelum memperbaiki orang lain. Dan kita semua tentu yakin, bahwa problem-problem aqidah seperti contoh di atas, sudah selesai di kalangan ikhwah. Sudah beres. Sudah teratasi.
Namun bagi seorang ikhwah, salimul aqidah bukan saja terbatas pada bebasnya keyakinan kita dari kesyirikan nyata seperti “nogo dino”. Lebih dari itu, dalam domain yang sama –dalam hal rezeki- seorang ikhwah harus meyakini bahwa Allah Ar-Raziq, Allah yang Maha Pemberi Rezeki. Dengan keyakinan yang sempurna, maka seorang ikhwah dengan jiwa yang kokoh hanya berusaha mencari rezeki yang halal. Ia tak tergoda dengan yang syubhat, apalagi yang haram. Sebab ia yakin: wa maa min daabbatin fil ardhi illaa ‘ala Allaah rizquhaa. Tak ada satupun makhluk melata di bumi melainkan Allah menjamin rezekinya. Kalau demikian, bukankah sia-sia saja seorang berusaha mengejar yang haram selian mendapatkan dosa. Bukankah ia takkan menambah jatah rezeki yang ditentukan baginya, kecuali hanya mendekatkannya ke neraka?
Meyakini Laa Raaziqa illa Allah dalam bentuk yang lebih luas juga menjadikan seorang kader dakwah siap menjalankan segala amanah tanpa ketakutan pada sempitnya rezeki atau ketakutan-ketakutan yang tak beralasan. Ia yakin bahwa yang memberikan kesehata n atau menentukan sakit adalah Allah. Maka, dengan keyakinan seperti ini, ikhwah tidak terjebak pada bisikan syetan, “Mendung nih. Kalau kamu berangkat dan nanti kehujanan bisa flu. Mending izin saja halaqah pekan ini”. Halus. Terasa argumentatif. Seakan berada dalam domain rukhshah. Tapi itu sebenarnya problem aqidah bagi ikhwah, jika ia kemudian menurutinya. Jadilah ia tidak hadir dalam halaqah karena khawatir sakit, padahal ia belum sakit. Jadilah ia tidak menghadiri acara dakwah karena khawatir kesehatannya terganggu padahal ia belum benar-benar lelah. Itu problem aqidah. Dan ternyata… problem ini mulai menjangkiti sebagian ikhwah. Semoga Allah melindungi kita dan melindungi semua saudara kita. Allaahumma aamiin. [Muchlisin]
0 komentar:
Post a Comment
terimakasih atas komentar dan kunjungan anda.